Awalnya bermula dari perantauan komunitas Mandailing, di Malaysia. Sebagai komunitas di perantauan, sah-sah saja jika mereka melestarikan kekayaaan tanah leluhurnya di perantauan tempat mereka mengadu nasib. Masyarakat Malaysia juga jadi sering melihat penampilan tarian Tor-tor itu.
Akibat lanjutan, Malaysia mengembangkan kedua jenis tarian itu dan ada sinyalemen negara semenanjung yang sering mengaku "saudara serumpun Indonesia" itu akan memformalkan kedua tarian itu sebagai milik mereka.
Menurut Juwana, "Memang dua tarian itu diusulkan komunitas Mandailing di Malaysia. Masyarakat yang merantau itu bisa saja mempraktekkan budaya yang mereka miliki, namun jangan sampai Malaysia sebagai negara memformalkan sebagai 'milik' negara itu."
Guru besar hukum internasional UI itu mengatakan, "Malaysia harus memperhatikan sensitivitas rakyat Indonesia sebagai pemilik kedua tarian tradisional asli itu."
"Kesalahan terbesar pemerintah Malaysia adalah memformalkan. Ini tindakan provokatif dan agresif di bidang kebudayaan terhadap Indonesia. Sensitivitas pemerintah Malaysia diperlukan karena dalam hubungan bertetangga yang mengalami pasang surut pasti publik Indonesia akan marah," ujarnya.
Tindakan pemerintah Malaysia pun --dalam konteks ini-- tidak sejalan dengan solidaritas ASEAN dan keinginan untuk membangun masyarakat ASEAN.
"Publik Indonesia akan menolak pembentukan masyarakat ASEAN karena kekhawatiran mereka akan menjadi pecundang di antara negara-negara ASEAN yang ada," ujarnya.
"Publik Indonesia akan menolak pembentukan masyarakat ASEAN karena kekhawatiran mereka akan menjadi pecundang di antara negara-negara ASEAN yang ada," ujarnya.
Dalam hal akulturasi dan penyerapan budaya antar bangsa, dia memberi contoh, " Komunitas China di Indonesia sering memeragakan tarian barongsai. Tapi tidak pernah pemerintah Indonesia memformalkan bahwa barongsai itu milik Indonesia.
sumber: antaranews.com
0 komentar:
Posting Komentar